LKTM tentang PERS
Dalam rangka lomba debat dan LKTM di jurusan akhirnya esai ini jadi walaupun dibuat dengan sistem skj. Silahkan dinikmati
PERSKEKUATAN MERDEKA PENGONTROL PEMERINTAH
YANG TERSERET ARUS GLOBALISASI
Pendahuluan
Berbicara perihal kebebasan pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya demokrasi di tanah air kita. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu aspek terpenting dari demokrasi adalah adanya kebebasan kepada media massa guna meliput, mengolah dan juga menginformasikan berita yang menjadi kewenangan dari pers ini. Namun yang menjadi masalah adalah pers di Indonesia belumlah berkembang sesuai dengan ekspektasi dan juga harapan demokrasi karena tekanan dari pemerintah yang kurang demokratis. Namun berkat perkembangan yang yang terjadi di negeri kita tercinta pers mulai mendapatkan kemerdekaannya yang kita lihat hingga sekarang.
Namun sebelum kita melihat lebih dalam tentang kebebasan pers yang mulai terwujud di Negara demokrasi seperti Indonesia. Kita harus melihat terlebih dahulu definisi pers seperti yang tercantum di dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dimana disebutkan bahwa bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Namun kebebasan pers yang sudah dijamin dan diatur di dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia sering dipertanyakan akankah pers mampu berperan di dalam proses control dan juga pengawasan terhadap pemerintah. Hal ini karena masih belum terlihatnya suatu profesionalitas yang dimiliki per situ sendiri di dalam menyampaikan beritanya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pers kita sudah mulai berbenah ke arah itu sehingga suatu saat nanti kita akan melihatnya di dalam kehidupan bangsa kita.
Pembahasan
Jika dahulu wartawan Indonesia dipasung dan dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Di masa reformasi yang identik dengan perkembanga demokrasi di Indonesia pers mulai merasakan kebebasannya karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak. Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan menjaga independensinya.
Pers memiliki beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan, menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk ketimpangan. Pers selayaknya menjaga kebebasannya dengan tidak bertindak kebablasan.
Angin segar kebebasan pers, mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak. Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal dan cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan menjatuhkan lawan politik. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotainment, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.
Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat korelasi yang kuat antara struktur kekuasaan dan kebebasan pers. Manakala struktur kekuasaan menguat, kebebasan pers melemah. Sebaliknya, jika struktur kekuasaan melemah, kebebasan pers menguat. Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia sekarang? Kekuatan-kekuatan pemerintah mestinya adalah yang paling besar saat ini karena legitimasinya relatif sangat tinggi. Namun berlawan dengan asumsi diatas, bahwa kekuatan pers juga terlihat amat kuat. Pers seakan bebas memberitakan apa saja tentang segala hal, termasuk tentang pejabat pemerintah. Beberapa pers terkesan “kebablasan” dan seakan tanpa batas lagi. Banyak kasus memperlihatkan betapa ketika satu pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah media berniat menuntut, ternyata media dimaksud sudah tidak terbit lagi karena tidak mampu bertahan secara finansial sehingga hanya terbit satu hingga enam kali saja. Namun lagi-lagi bahwa kebebasan pers telah ikut berperan bagi tegaknya demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Terbongkarnya berbagai penyimpangan yang dilakukan para pemegang kekuasaan adalah salah satu contoh nyata manfaat kebebasan pers. Manfaat lain adalah terbukanya berbagai wacana penting dalam kehidupan berbangsa yang bisa dimasuki oleh publik dalam arti seluas-luasnya-sesuatu yang musykil di sebuah negara dengan pers yang ditindas.
Harus diakui kritik atas kebebasan pers di Indonesia karena pers kita yang terlalu liberal seperti Amerika Serikat. Banyak tokoh pers nasional mengungkapkan kekhawatirannya itu. Tjipta Lesmana (2005) misalnya mengatakan dalam era reformasi yang penuh euphoria kebebasan terjadi kecenderungan pada sementara wartawan kita untuk bersikap arogan. Mereka selalu menonjolkan kebebasan daripada tanggungjawab sosial. Tarman Azzman (2005), mengatakan munculnya sikap arogansi sebagian komunitas pers yang benar benar terkesan betapa sangat bebasnya pers Indonesia melebihi kebebasan pers di Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Eropa Barat sekalipun. Pengacara OC Kaligis (2005) juga ikut memberikan catatan khusus tentang kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya situasi kebebasan pers sekarang kiranya sama dengan situasi pada masa transisi di Amerika Serikat. Kebebasan yang yang tidak bisa lepas dari kepentingan kepentingan politik, kelompok atau orang-orang tertentu. Bukan berarti bahwa sejumlah tudingan dari berbagai kalangan tadi tidak diperhatikan masyarakat pers.
Menurut pengamatan penulis pers Indonesia sendiri juga sudah menyadari bahwa masih ada begitu banyak masalah yang dihadapi. Namun, jalan keluar terbaik bukanlah dengan menerapkan berbagai pembatasan baru terhadap pers, melainkan dengan memberikan kesempatan kepada kalangan pers sendiri untuk berbenah, terutama menyangkut profesionalisme dan etika wartawan, serta perbaikan tingkat kesejahteraan para pekerja pers. Sejumlah langkah konkret sebenarnya sudah dilakukan atas inisiatif kalangan pers, misalnya berjenis pelatihan jurnalistik oleh berbagai lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan media. Tentu saja pembenahan ini tak mungkin tuntas seketika, terlebih jika diingat bahwa pers Indonesia masih dalam proses belajar, untuk mengisi kemerdekaan yang dinikmati delapan tahun terakhir ini, setelah dibungkam lebih dari 30 tahun
Penutup
Pers sebagai bagian bagian dari jaringan komunikasi diharapkan memerankan fungsinya sebagi media yang bebas dan bertanggungjawab. Demikian pula dalam menyajikan berita, pers dituntut mengikuti mekanisme dan ketentuan hukum, sebab tidak menutup kemungkinan pekerja pers yang tidak mematuhi kaidah hukum yang berlaku akan dituntut oleh pihak yang dirugikan untuk mempertanggung jawabkan isi pemberitaan. Di dalam penyajian berita, pers dituntut mengikuti kode etik yang telah disepakati bersama, mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak bias.
Sebagai institusi sosial, lembaga pers memiliki peran signifikan dalam memajukan kehidupan masyarakat terutama pada perannya untuk menghadirkan kembali realitas yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang sehat bagi masyarakat. Bagaimanapun, informasi yang disajikan oleh pers tetap saja terkait dengan hasil interpretasi para penulisnya sehingga tidak jarang informasi yang disajikan sering dikritisi dan dianggap mendahui azas praduga tak bersalah.
Oleh karena itu untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme Kontrol dari dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme juga dianggap masih belum menjawab kepentingan masyarakat konsumen sendiri. Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam pengelolaan media.
Khusus untuk Indnoesia, kebebasan pers itu tidak hanya menjadi concern atau monopoli orang-orang pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers bisa disalahgunakan oleh orang-orang pers itu sendiri yaitu ketika pers, baik pada atas nama individu jurnalis, pemilik media, akan berselingkuh dengan kekuasaan politik dan kapitaslime. Dan yang terpenting adalah adanya perbedaan karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda dari pers. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menghimbau agar pers yang majemuk tersebut dapat menggunakan standar jurnalisme profesional.