Tugas

PBB Topeng Para “Polisi Dunia”

DENGAN tidak memedulikan “tekanan” masyarakat dunia dan PBB, Amerika Serikat, dibantu Inggris, Spanyol, dan Australia, secara sepihak menyerang Irak. Di saat yang sama, Presiden Saddam Hussein yang di-back up kuat elite politik dan rakyat bersikukuh tidak memenuhi ultimatum AS.

Tentu saja seluruh negara, termasuk Indonesia, segera bereaksi. Filipina, Jepang, dan Korea Selatan, misalnya, mengambil sikap mendukung keputusan AS. Cina memberi kepedulian mendalam (deeply concerned), sedangkan Rusia menyatakan, itu sebagai malapetaka kemanusiaan. Malaysia menentang keras.

Lepas dari pro-kontra, mungkin yang perlu dicermati mendalam adalah alasan yang tak terucap dari sikap segenap negara yang diwakili pemerintahannya. Di luar yang mendukung atau setuju, umumnya ketidaksetujuan dan penentangan dibatasi hanya terhadap kebijakan yang diambil, dan tidak sampai mengusik, apalagi mengganggu keakraban hubungan, persahabatan, dan persaudaraan dengan AS dan sekutunya. Dari sikap dan penampilan yang demikian itu, sebenarnya dapat ditarik benang merah yang mendasarinya, yaitu bagaimana kepentingan nasional masing-masing tetap diuntungkan oleh tatanan dunia yang sedang mencari bentuknya (equilibrium) yang baru.

Di sanalah pentingnya kita sebagai bangsa dan negara senantiasa memahami tiap dinamika lingkungan global yang sedang dan akan terjadi, dan secara arif menyikapinya agar kepentingan nasional terus diuntungkan, setidaknya tidak dirugikan akibat penyikapan yang tidak “pas”. Dengan pemahaman demikian, kita akan terhindar dari perbuatan tak etis yang merugikan kepentingan nasional hanya karena kepentingan sesaat, apalagi berskala pribadi, golongan, atau partai.

Perubahan tata dunia baru

Adalah fakta, selama “perang dingin”, AS lebih menggunakan PBB sebagai alat untuk mengembangkan ambisinya menuju posisi sebagai “polisi” dunia. Berbagai tindakan yang didasarkan mandat PBB dalam implementasinya amat didominasi pengaruh dan peranan AS. Kebijakan itu sebenarnya adalah pilihan model pengelolaan politik gaya AS.

Sebagai negara superpower, AS dapat saja menjadikan persoalan eksternal untuk meng-exercise kepentingan nasionalnya, termasuk hal politik dalam negeri. Model demikian, dalam dunia politik adalah sah-sah saja, apalagi bila “kehadiran”-nya diposisikan sebagai big brother. Tentu saja hal itu tidak bisa lepas dari kecanggihan AS dalam menjual demokrasi, human right, dan humanisme sebagai “ideologi” global yang ber-trademark AS sehingga ketiga paham itu kini seolah sudah menjelma menjadi kebutuhan hampir seluruh manusia dan bangsa mana pun. Paham demikian itu menjadi kian kokoh karena hingga kini belum ditemukan rancang bangun sistem kenegaraan yang didasarkan “ideologi” lain yang terbukti atau setidaknya diyakini mampu menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan keamanan sebagaimana dihasilkan sistem kenegaraan yang didasarkan ketiga “ideologi” itu.

Dengan runtuhnya Uni Soviet sebagai negara adidaya pesaing AS, tentu saja tata dunia pun ikut berubah. Dari kondisi seperti itu, sebenarnya upaya AS untuk tampil sebagai single big brother bagi dunia tinggal masalah “kedaulatan” PBB, karena realitanya, pesaing AS sebagai superpower pasca-“perang dingin” sebenarnya tinggal PBB. Di sanalah pentingnya AS menunggu saat yang pas untuk mengecilkan fungsi dan peran PBB, setidaknya dibatasi pada porsi untuk menangani masalah-masalah sosial kemanusiaan saja. Maka, perang Irak adalah “kesempatan emas” yang tidak mungkin akan disia-siakan AS.

Begitu pula dalam hal berkoalisi, AS bukan tidak butuh bantuan negara lain di luar Inggris dan Australia, tetapi mungkin jauh lebih nyaman bila sedikit negara sahabat yang mau membantunya. Dengan demikian, AS tidak menghadapi banyak kesulitan dalam “membagi” dominasi pengaruh politik pascaperang Irak, toh secara militer, Irak bukan lawan yang perlu dihadapi banyak negara.

Dalam pergeseran tata dunia seperti itulah umumnya kebanyakan negara mengambil sikap bersahabat dengan AS dan sekutu dekatnya sehingga kepentingan nasional masing-masing dapat diperjuangkannya. Beberapa waktu lalu kita menyaksikan mengapa Pakistan dan Malaysia yang semula dituduh membesarkan “Islam Radikal”, pascatragedi WTC 11 September 2001 justru menjadi begitu gencar memerangi Terorisme Internasional. Dalam konteks kepentingan nasionalnya, Malaysia lalu menertibkan (baca: memulangkan) sesaat TKI gelap yang sebenarnya amat dibutuhkan dan menguntungkan dirinya, dengan salah satu dampak berupa kasus kemanusiaan di Nunukan tahun lalu. Yang jelas, mereka mendapat rezeki nomplok dari big brother, sementara kita kebagian getahnya, bahkan di-kuyo-kuyo oleh opini global dengan klimaksnya bom Bali. Di sana pula kita bisa memahami mengapa kebanyakan negara dan bahkan bekas musuh bebuyutan AS, seperti Rusia dan Cina, memberi reaksi atas penyerbuan AS dan sekutunya ke Irak tidak mengait persoalan persahabatan dan hubungan diplomatik di antara mereka.

Implikasi bagi Indonesia

Dalam kaitan dengan perang Irak, Presiden Megawati tidak mungkin mengambil posisi bertentangan dengan aspirasi mayoritas rakyat. Dengan segala masalah yang sedang dihadapi, pemerintah agak sulit mengondisikan rakyat jauh sebelum perang Irak dimulai untuk membangun aspirasi publik yang cenderung lunak.

Namun, sebagai bangsa dan negara, mungkin yang terpenting ke depan adalah bagaimana kita berbuat agar berbagai kepentingan nasional kita bisa diperjuangkan di forum internasional. Di sanalah perlunya kita membuat asumsi, mungkinkah negara-negara yang semula menentang AS, seperti Perancis dan Jerman, akan terus bertahan pada sikapnya termasuk kelak di tahap rekonstruksi dan pembangunan peradaban baru di Irak pascaperang. Dan, apakah sikap negara-negara yang cukup keras, seperti Cina dan Rusia, nanti tidak berubah menjadi begitu dekat dengan AS sehingga kelak mereka juga berhak ambil bagian dalam proses rekonstruksi dan pembangunan peradaban di pascaperang. Dan, begitu seterusnya, apakah tidak mungkin AS dan sekutunya kelak pada saatnya tidak mempengaruhi negara-negara sahabat atau lembaga-lembaga internasional lain terlebih dari lingkungan keuangan dunia yang kita butuhkan dalam rangka mengakhiri krisis nasional yang terus berkepanjangan dan dalam menjaga integritas dan kedaulatan kita. Karena, yang pasti tidak ada satu pun negara di dunia ini, termasuk kita, mampu melepaskan diri dari pengaruh tata dunia yang ada.

Di sisi yang lain kita juga tidak mungkin mengambil sikap masa bodoh terhadap tata dunia yang ada sehingga menjadi negara dan bangsa yang terkucilkan dengan segala risiko yang harus ditanggung. Barangkali persoalan akan menjadi lain bila hari ini kondisi kita sebagai negara sudah kuat apalagi perkasa dan tata dunia dalam kesetaraan tidak didominasi pihak tertentu. Bisa jadi sikap kita yang lebih keras dari Malaysia, Cina, atau Rusia akan diperhitungkan negara lain. Atau, bahkan bisa saja kita mengulangi sejarah seperti pernah diperankan Bung Karno dulu dengan go to hell with your aid. Dengan kata lain, yang diperlukan kini adalah kejujuran kita sebagai bangsa dan negara atas kondisi obyektif diri kita sendiri dan bagaimana pemahaman kita terhadap tata dunia yang nyata tergelar saat ini. Dengan demikian, setidaknya kita segera bisa mengikuti jejak negara tetangga yang telah lama keluar dari krisis dan mampu menuntaskan persoalan kebangsaan yang dihadapinya.

Maka, implikasi pelibatan yang paling mungkin adalah merajut persahabatan dengan bangsa dan negara mana pun sejak sekarang agar dampak dari sikap yang kita pertontonkan hari-hari ini tidak makin menyulitkan posisi kita di forum internasional di pascaperang nanti. Kita harus berupaya agar sebanyak mungkin negara sahabat tetap peduli terhadap kepentingan nasional kita khususnya dalam menjaga integritas serta kedaulatan negara dan bangsa. Kenyataan yang ada, kekuatan yang mempersatukan kita sebagai bangsa dan negara kini lebih dominan karena pengaruh eksternal yang masih menghendaki kita tetap utuh. Di sanalah pentingnya semua pihak menahan diri untuk tidak memperburuk hubungan dengan negara-negara sahabat. Sebagai bangsa kita harus terus menyuarakan antiperang, tetapi marilah kita tempuh dengan cara yang benar dan baik, tanpa harus merugikan kepentingan nasional. Jangan pula hari ini kita begitu “garang”, namun serta-merta esok hari berubah menjadi “pengemis” karena hal yang demikian sungguh nista bagi masa depan bangsa.

Perang Irak sudah terjadi, tidak ada cara lain bagi kita kecuali segera turun tangan untuk meringankan beban kemanusiaan yang sedang dan bakal terjadi di Irak dan sekitarnya. Marilah kita bantu upaya pemerintah dan komponen bangsa mana pun yang secara konstruktif hendak meringankan beban penderitaan rakyat Irak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *