Peran IMF bagi Indonesia
Jika kita menyinggung badan keuangan dunia seperti IMF, maka kita akan selalu ingat dalang peristiwa bom ekonomi yang meledak pada tahun 1997-1998. dampak postif peristiwa itu adalah tidak pelak jatuhnya kekuasaan orde baru pimpinan Soeharto. Namun cilakanya moment peristiwa positif itu bukan merupakan efek rencana positif dari kebiajakan fiscal yang telah diterapkan di Indonesia melainkan suatu kebetulan. Pada tahun 2008 ini, krisis ekonomi kembali menyerang dunia, apakah Indonesia bakal terkena dampak negatifnya? Jawabannya adalah mau gak mau, suka gak suka sepertinya Indonesia tidak bias menghindar, hal ini dikarenakan system yang di anut RI adalah terbuka untuk pasar bebas, sehingga sebaiknya pemerintah dan segala jajarannya harus segera merapatkan barisan untuk menghadapi ini semua.
IMF adalah dapat diibaratkan sebagai “Dewa Amputasi” dan bukan yang diharapkan yaitu; “Dewa Penyelamat” bagi ekonomi Indonesia. Dan cilakanya lagi setelah melakukan amputasi, biaya amputasinya yang seharusnya ditanggung pihak yang menyebabkan kecelakaan atau accident tapi sebalinya dibebankan kepada sang pasien. Kekhawatiran tersebut terlihat terutama berdasarkan pengalaman empiris yang telah terjadi dimana menunjukkan bahwa tingkat akan keberhasilan (success rate) dari badan ekonomi IMF di berbagai banyak negara dinyatakan rasionya dibawah dari 30 persen. Yang lebih tidak mengkhawatirkan adalah keberhasilan di bawah 30% tersebut hanya terlihat dari Negara kecil atau sedang tahap pembangunan (seperti Indonesia), sedangkan untuk Negara yang berada diatasnya sedikit hampir menyentuh angka nol persen.
Hal ini tentunya menjadi pertanyaan bagi seluruh pemimpin di dunia agar dapat melakukan interopeksi diri dan cari jalan alternative yang lebih baik supaya tidak terjatuh ke dalam jurang sama. Suah saatnya ekonomi di dunia tidak dikuasai dan dikendalikan oleh Negara maju saja, namun semua Negara di dunia ini harus memiliki peranan yang sama pentingnya. Beberapa Negara seperti Amerika Serikat maju tetap mempertahankan argumentasinya bahwa dengan menggunakan system kapitalisme dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dunia lebih cepat. Oleh karena itu, tidak heran jika pertemuan yang di lakukan oleh beberapa Negara di Washington saat ini (tergabung dalam G-20) diramalkan tidak akan membawa perubahan yang berarti, karena masing-masing Negara lebih mengutamakan keperntingan sendiri dari pada kepentingan massa depan ekonomi dunia agar dapat berjalan lebih baik. Tidak hanya keras dalam menghasilkan kesepakatan keputusan yang lebih baik, namun diperlukan niat yang tulus dan ikhlas untuk mencapai semua itu.
Para Negara-negara di dunia , terutama Negara maju yang tergabung dalam G-7 harus berani membuka lowongan sekecil apapun untuk kepentingan bersama. Pada kesempatan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa tidak akan meminta bantuan lagi kepada Dana Moneter Internasional (IMF) jika dampak keuangan krisis suatu saat akan semakin membebani perekonomian nasional. SBY menyatkan bahwa IMF harus menerpakan dan melaksanakan kebijakannya dengan “country by country”, dimana setiap Negara memerlukan penanganan khusus untuk keluar dari krisis yang dihadapinya dimana dapat dikatakan memerlukan bantuan dengan persyaratan tertentu dengan juga kondisi-kondisi tertentu agar kebijakan moneter tersebut dapat berhasil dan suskses sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Karena permasalahn ekonomi dari suatu Negara tidak boleh disamaratakan masalahnya dan begitu juga cara penyelesaian masalahnya. Oleh karena itu sudah saatnya kebijakan ekonomi yang dikeluarkan IMF yang lama dimana lebih bersifat general dan harus segera dirubah dan ditinggalkan.
Kegagalan program IMF di Indonesia disebabkan karena:
1. Diagnosa dan obat IMF nyaris sama (generik) untuk seluruh kasus di seluruh dunia berdasarkan pendekatan financial programming yang sederhana.
2. Pendekatan program IMF terutama berdasarkan pada penambahan beban utang untuk mendukung posisi neraca pembayaran.
3. Program IMF mencakup bidang di luar kemampuan profesional dan kompetensi utama staf IMF. Jika Indonesia ingin segera bangkit dan bermimpi menjadi lima negara terbesar di Asia dalam waktu 15 tahun, maka sudah saatnya reformasi dan vitalisasi di sektor infrastruktur, investasi, perbankan, industri, pertanian, birokrasi, dan kelembagaan harus segera dilakukan.