Makna Perayaan Hari Raya Galungan
Selamat Hari raya semeton sami. Tanggal 15 Juli 2015 adalah Hari Raya Galungan yang sangat bermakna bagi masyarakat Hindu. namun sudahkah kita tahu makna dan artinya, berikut ini penulis mencoba berbagi makna galungan sesuai dengan pemaparan dari babadbali.com Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranyaPanji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. |
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atauOton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. |
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. |
Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin. |
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, SangBhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut: |
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi,keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasanyang dilakukan pada hari Penampahan itu. |
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkankeletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan. |
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma. |
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain. |
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknyasesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingansebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia. |
Sumber http://www.babadbali.com/piodalan/galungan.htm |